Sabtu, 06 Maret 2010

ADHD bersumber pada otak

ADHD (attention deficit/hyperactivity disorder) alias gangguan konsetrasi yang selama ini dituding sebagai salah satu jenis autis, ternyata bersumber dari gangguan neurotransmitter tertentu dalam otak.

Namun penelitian terbaru oleh National Institute on Drug Abuse (NIDA) yang dipublikasikan di jurnal American Medical Association, September lalu, belum berani memastikan penyebab gangguan ini, walau telah berhasil memetakan lokasi penyebab ADHD di bagian otak.

Penelitian soal ADHD pertama kali dipublikasikan George F. Masih pada 1902 silam. Namun meski telah lebih dari 1 abad, penyebab pasti ADHD belum sepenuhnya dipahami.

Hasil penelitian menunjukkan, ada banyak faktor mendasar dalam ADHD diantaranya kurangnya perhatian, impulsif dan hiperaktif. Penyebabnya dikaitkan dengan masalah genetik dan kerentanan neurobiologis. Tapi masalah dasar dianggap dalam gangguan neurotransmitter tertentu dalam otak.

Hasil penelitian NIDA menunjukkan bahwa transmisi dopamin, yakni sejenis zat kimia yang diperlukan untuk fungsi normal dari sistem saraf pusat, terganggu dalam beberapa jalur otak pada orang dengan ADHD.

Kesimpulan itu diambil Dr. Nora Volkow dan rekan membandingkan 54 foto otak orang dewasa dengan ADHD dan 44 orang dewasa tanpa gangguan.

Para peneliti menemukan bahwa otak dari orang-orang dengan ADHD, memiliki konsentrasi dopamin reseptor dan transporter yang berkurang, khususnya di daerah-daerah yang terlibat dengan imbalan dan motivasi, dan gangguan ini berhubungan langsung dengan keparahan kekurangan perhatian.

Temuan ini dapat menjelaskan mengapa anak-anak dan orang dewasa dengan ADHD mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas, ketika tidak ada hadiah langsung, namun mampu berkonsentrasi saat kegiatan yang mereka sukai atau yang dapat diselesaikan dengan mudah.

Para peneliti mengatakan hal itu mungkin juga menjelaskan mengapa pasien ADHD cenderung komplikasi dengan penyalahgunaan narkoba dan obesitas. “Jalur ini memainkan peran penting dalam penguatan, motivasi, dan dalam mempelajari bagaimana menghubungkan berbagai rangsangan dengan imbalan,” kata Volkow.

Dr Andrew Adesman, kepala pediatri perkembangan dan perilaku di Schneider Children’s Hospital di New York, menyetujui hasil studi tersebut. Ia menyebutkan, harus dilakukan penelitian lanjutan terhadap hubungan antara ADHD dan defisit dopamin di daerah tertentu dari otak pertengahan.

Namun ia menyatakan, meskipun ada kemajuan identifikasi penelitian pada otak pasien dengan ADHD, diagnosis klinis ADHD tetap satu, “ADHD tidak dapat didiagnosis dengan neuroimaging,” ujarnya.

Volkow mengatakan hasil penelitian mereka juga memperteguh kepercayaan untuk terus menggunakan obat stimulan dalam pengobatan ADHD, karena hal itu akan memperbaiki jalur dopamin dalam meningkatkan motivasi dan meningkatkan perhatian pada tugas-tugas kognitif. “Tapi penelitian ini harusnya juga menggugah semua orang untuk lebih perduli pada ADHD, terutama para guru dengan murid yang ADHD,” ujarnya.

Ia menyebutkan, salah satu masalah pada anak dengan ADHD adalah masalah motivasi. Para guru, ujarnya, dapat mencari cara untuk meningkatkan daya tarik dan relevansi sekolah bagi anak-anak ini. “Ini kesempatan besar untuk mengembangkan kurikulum yang jauh lebih menyenangkan dan menarik untuk anak-anak menderita ADHD,” tandasnya.

ADHD diperkirakan mempengaruhi tiga hingga tujuh persen dari anak-anak Amerika. Rata-rata, paling tidak satu anak di setiap kelas di Amerika Serikat membutuhkan bantuan untuk gangguan ini. Namun, lebih dari separuh anak-anak ADHD akan terus menampilkan karakteristik dari gangguan selama masa remaja dan dewasa.


Sumber :

http://forum.um.ac.id/index.php?topic=2045.0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar